Minggu, 31 Maret 2013

TERIMA KASIH PADANG, SELAMAT TINGGAL PADANG


karya : Rizka Aulia


Siang ini cuaca sangat panas. Pancaran sinar matahari serasa membakar kulit. Bahkan angin yang sekedar  menumpang lewatpun tak mengobati teriknya siang ini.
Cuaca panas siang itu juga dirasakan Nana. Ia tengah sibuk berkutat didepan laptop membuat tugas skripsinya. Maklum, ia tengah kuliah semester terakhir. Nana adalah mahasiswa Universitas Negeri Padang jurusan Bahasa Indonesia.
Tiba – tiba Indri datang menghampirinya. Indri adalah teman kos Nana yang juga sebaya dengannya.
“Na .. keluar yuk. Nyari minuman yang dingin” ujar Indri penuh harap. Ia menggoyang – goyangkan tangan kiri Nana.
“Ajak Bunga aja Ndri. Aku lagi bikin skripsi nih” tolak Nana meskipun matanya tak berpaling dari layar laptop.
“Ya udah deh” Indri segera bangkit dan meninggalkan Nana.
Beberapa menit kemudian Indri dan Bunga sudah berada didepan pintu kos.
“Na... kita pergi dulu ya” teriak Indri hingga terdengar seisi rumah.
“Iyaa..” sahut Nana tak kalah berteriak.
Kini dikos hanya tinggal Nana dan Ibu kos yang tengah masak didapur. Ibu kos itu bernama Bu Siti. Ibu siti sudah cukup berumur. Suaminya telah meninggal sejak 7 tahun yang lalu. Sedangkan anak – anaknya pergi merantau ke daerah Jawa. Itulah sebabnya dia menyewakan rumahnya untuk kos. Selain untuk memberi pundi – pundi keuangan, juga membuat isi rumah tidak terlalu sepi, karna Bu Siti hanya tinggal seorang diri. Nana mulai tinggal dirumah Bu Siti sejak 4 tahun yang lalu, sejak ia mulai kuliah.
Nana masih sibuk dengan laptopnya. Sedangkan Bu Siti telah selesai memasak dan beranjak kedalam kamar.
Tiba – tiba gelas yang berada tepat disamping laptop Nana bergerak. Lampu hias yang berada disisi rumah jatuh kelantai dan pecah. Ia merasakan goncangan yang makin lama makin kencang. Nana panik. Ia segera berlari keluar rumah. Ketika didepan pintu kos, ia teringat Bu Siti yang masih berada didalam. Ia segera berlari menuju kamar Bu Siti. Bu Siti terlihat kesusahan berjalan. Ia segera menuntun Bu Siti keluar rumah. Ketika sampai diluar kos, ia melihat orang – orang sudah berada diluar rumah dan terlihat menepi. Nana menuntun Bu Siti duduk di halaman kos. Nana terdiam memperhatikan sekitarnya. Tangannya masih memegangi Bu Siti yang terlihat shock dan cemas. Guncangan itu masih berlanjut. Kira – kira 1 menit kemudian guncangan itu berhenti. Ia langsung teringat 2 orang sahabatnya yang belum kembali. Tanpa disadari butiran bening mengalir dipipi mulusnya. Entah apa yang membuatnya takut kehilangan 2 sahabatnya itu.
Nana ingin menghubungi mereka. Ia meraba saku celananya. Tapi ia tak menemukan ponselnya. Tanpa berpikir panjang ia bergegas kedalam kos mengambil ponselnya. Didalam kos ia melihat benda – benda berserakan dilantai. Ia melangkah menuju ruang tamu dan mengambil ponsel. Ia kembali ke tempat Bu Siti dihalaman kos.
Nana tampak sibuk mengotak atik ponselnya. Kemudian ia menempelkan ponsel tersebut ditelinganya. Tampaknya ia sedang menghubungi seseorang. Dilayar ponselnya terlihat nama Indri. Tapi tak ada sahutan. Nana terlihat semakin cemas. Ia kembali menghubungi nomor Indri. Ia menggigit ujung jari kanannya, berharap kali ini ada sahutan. Tapi tetap saja tak ada. Ia juga menghubungi ibunya di Bukittinggi, tetapi tidak terhubung. Perasaannya mulai kacau. Sekarang tidak ada satupun yang dapat dihubunginya. Tubuhnya melemas. Ia terduduk ditanah. Air mata mulai keluar dari pelupuk matanya.
Kira – kira 1 jam kemudian, Indri dan Bunga kembali. Dari kejauhan, Nana melihat 2 orang sahabatnya tersebut berjalan kearahnya. Ia tak bisa menahan perasaannya lagi. Ia segera berlari menyongsong mereka. Nana sontak memeluk mereka erat. Beberapa detik setelahnya, ia merenggangkan pelukannya dan melepaskan tangannya dari tubuh mereka.
“Kalian gak kenapa –napa kan?” Nana terlihat sangat mengkhawatirkan kedua sahabatnya itu.
“Kita baik – baik aja kok Na” balas Bunga lemas.
“Kamu sendiri baik – baik aja kan?” kali ini giliran Indri yang khawatir.
“Aku gak pa pa Ndri. Aku nungguin kalian dari tadi. Aku takut kalian kenapa -  napa” Nana terlihat memelas.
“Ya udah. Pokoknya sekarang kita semua baik – baik aja. Kamu jangan sedih lagi ya” hibur Bunga.
Nana tersenyum seolah menjawab pertanyaan Bunga.
Mereka berjalan menuju tempat Bu Siti. Indri dan Bunga menanyakan keadaan Bu Siti, dan sebaliknya. Bu Siti juga menanyakan keadaan mereka.
Hari semakin sore. Mereka masih tidak bisa menghubungi keluarga. Kemudian timbul niat pulang kerumah masing – masing, tapi dicegah Bu Siti. Sekarang mereka hanya bisa pasrah dan berdo’a agar mereka segera dipertemukan dengan orang tua dan keluarga mereka.
Sementara itu, ibu Nana di Bukittinggi sibuk menghubunginya. Tapi selalu tak terhubung. Ibunya tak henti - hentinya menangis. Hatinya terasa teriris. Bagaimana tidak, darah dagingnya yang sedang mengejar pendidikan di negeri orang dan tengah ditimpa musibah masih tidak diketahui keadaannya. Semua keluarganya di Bukittinggi mengkhawatirkannya.
Karna terus gagal dihubungi, kakak laki – laki Nana menyusulnya ke Padang. Kakaknya berangkat menggunakan motor bersama saudara perempuan ibunya. Mereka berangkat sore hari. Sekitar pukul 7 malam mereka sampai di Padang.
Setibanya di Padang, mereka langsung menuju kos Nana. Nana yang sebelumnya tidak dikabari terkejut melihat kedatangan kakak dan tantenya itu. Ketika melihat keadaan Nana yang ternyata baik – baik saja tersebut, tante Nana dan abangnya terharu dan memeluknya.
“Kami dirumah sangat mengkhawatirkanmu, nak” ucap tante Nana haru.
“Aku baik – baik aja kok tante” Nana berusaha meyakinkan tantenya itu.
Setelah cukup lama berbincang – bincang, tante Nana memutuskan untuk segera pulang karena malam semakin larut. Ia pamit pada Nana, Indri, Bunga dan juga Bu Siti.
“Ya udah.. sekarang tante sama abangmu balik ke Bukittinggi lagi ya” .
 “Iya tante. Tante tolong bilang sama Ibu kalo aku disini baik – baik aja” Nana memohon pada tantenya .
 “Iya sayang. Nanti tante akan bilang pada ibumu” tante Nana tersenyum dan memeluk keponakannya tersebut.
Di rumah, kondisi Ibu Nana terlihat memprihatinkan, ia jatuh sakit karna sampai saat ini ia masih belum mengetahui kabar dari sang buah hati.
Setibanya dirumah, tante Nana segera mengabari Ibu Nana bahwa buah hatinya baik – baik saja. Ibu Nana tidak percaya. Ia menuduh adiknya itu berbohong. Tante Nana berusaha meyakinkannya tapi hasilnya nihil. Ia tetap dengan keyakinannya.
Akhirnya tante Nana mengajak Ibu Nana untuk menyusul  Nana ke Padang, untuk membuktikan ucapannya. Setelah beberapa jam perjalanan, mereka sampai di kos Nana. Ibu Nana mendapati Nana sedang tidur di sofa. Tanpa pikir panjang, Ibu Nana langsung mendekap Nana dan memeluknya. Nana sontak terbangun. Air mata Ibu Nana bercucuran. Ia menampar pipi kanan Nana memastikan kalau yang duduk didepannya itu benar – benar buah hatinya.
“Anakku ... apa benar ini kau?” suara Ibu Nana serak.
“Iya Ibu. Ini aku Nana” balas Nana seraya mengeratkan pelukannya.
“Mulai sekarang kamu tidak Ibu ijinkan lagi tinggal di Padang” ujar Ibu Nana tegas.
Bagai disambar petir disiang bolong, perkataan singkat Ibu sukses membuat Nana shock.
“Tapi Bu, sebentar lagi aku akan menyelesaikan kuliahku” Nana terlihat kecewa dengan keputusan Ibunya.
“Kamu bisa melanjutkan kuliahmu di Bukittinggi. Biar Ibu yang akan mengurusinya. Ibu tak ingin kejadian ini terulang lagi. Kita akan pulang besok”
Nana tak dapat berkutik. Mulutnya bungkam. Ia tidak ingin membantah perkataan Ibunya. Ia tak ingin terlihat egois dimata abang, tante, sahabat dan juga Bu Siti.
Sakit? Ya. Tapi itulah kenyataan yang harus diterimanya. Tak selalu apa yang diharapkan akan sama dengan orang lain harapkan terhadap diri kita.  Itulah yang dialami Nana. Angan – angannya untuk menamatkan kuliah di UNP pupus. Ibunya berkeinginan lain.
Nana menghadap keluar jendela. Kini, ia telah berada dirumah yang sering ia tinggali. Tanpa terasa, air mata mengalir dikedua pipinya. Sementara itu, Ibunya yang berada di ruang makan  memperhatikan gerak geriknya  dari tadi. Ia berusaha melihat lebih jelas apa yang terjadi dengan Nana. Ia melangkahkan kedua kakinya menuju tempat Nana.
“Kamu kenapa?” Ibu mendekatkan wajahnya ke wajah Nana
Nana menyadari keberadaan seseorang disisinya. Ia sedikit melirik. Kemudian tatapannya kembali keluar jendela.
“Aku ingin kembali ke Padang, Bu” kata – kata itu membuat Ibu Nana terenyuh. Ia terdiam untuk beberapa saat.
“Ya sudah. Kalau memang itu yang kamu mau, Ibu ijinkan kamu kembali kuliah” pungkas Ibu lembut.
Nana mendongak.
“Apa? Ibu mengijinkanku kembali ke Padang?” Nana terlihat antusias. Ia memeluk Ibunya.
“Terimakasih, Bu” tangan Nana masih mengalung dipinggang Ibunya.
“Tapi ada syaratnya. Setiap ada jadwal kuliah yang kosong, kamu harus pulang” pesan Ibu pada Nana.
“Siap Ibu!” Nana terlihat sangat senang dengan kenyataan yang diterimanya. Ia kembali diijinkan kuliah di Padang. Matanya berbinar. Ia segera mengabari kedua sahabatnya tentang kabar bahagia ini.
Esok paginya, ia berangkat ke Padang diantar kakak laki – lakinya. Ketika sampai di kos, ia disambut oleh kedua sahabatnya. Mereka berpelukan layaknya orang yang telah berpisah selama bertahun – tahun.
2 bulan kemudian, Nana dan kedua sahabatnya telah menyelesaikan kuliahnya. Mereka telah resmi diwisuda. Ada perasaan haru yang menyelinap didada Nana. Ia lega telah berhasil menyelesaikan pendidikannya. Hatinya semakin pilu ketika mengenang kejadian 2 bulan lalu ketika ia sempat ditentang oleh Ibunya untuk melanjutkan kuliah karna bencana alam yang menimpanya. Kini, ia telah menyelesaikan pendidikannya. Ia akan kembali ke Bukittinggi untuk menepati janjinya pada Ibunya.
“Terima kasih Padang. Selamat tinggal Padang” gumamnya penuh haru.