karya : Rizka Aulia
Siang ini cuaca sangat
panas. Pancaran sinar matahari serasa membakar kulit. Bahkan angin yang
sekedar menumpang lewatpun tak mengobati
teriknya siang ini.
Cuaca panas siang itu
juga dirasakan Nana. Ia tengah sibuk berkutat didepan laptop membuat tugas
skripsinya. Maklum, ia tengah kuliah semester terakhir. Nana adalah mahasiswa
Universitas Negeri Padang jurusan Bahasa Indonesia.
Tiba – tiba Indri
datang menghampirinya. Indri adalah teman kos Nana yang juga sebaya dengannya.
“Na .. keluar yuk.
Nyari minuman yang dingin” ujar Indri penuh harap. Ia menggoyang – goyangkan
tangan kiri Nana.
“Ajak Bunga aja Ndri.
Aku lagi bikin skripsi nih” tolak Nana meskipun matanya tak berpaling dari
layar laptop.
“Ya udah deh” Indri
segera bangkit dan meninggalkan Nana.
Beberapa menit kemudian
Indri dan Bunga sudah berada didepan pintu kos.
“Na... kita pergi dulu
ya” teriak Indri hingga terdengar seisi rumah.
“Iyaa..” sahut Nana tak
kalah berteriak.
Kini dikos hanya
tinggal Nana dan Ibu kos yang tengah masak didapur. Ibu kos itu bernama Bu
Siti. Ibu siti sudah cukup berumur. Suaminya telah meninggal sejak 7 tahun yang
lalu. Sedangkan anak – anaknya pergi merantau ke daerah Jawa. Itulah sebabnya
dia menyewakan rumahnya untuk kos. Selain untuk memberi pundi – pundi keuangan,
juga membuat isi rumah tidak terlalu sepi, karna Bu Siti hanya tinggal seorang
diri. Nana mulai tinggal dirumah Bu Siti sejak 4 tahun yang lalu, sejak ia
mulai kuliah.
Nana masih sibuk dengan
laptopnya. Sedangkan Bu Siti telah selesai memasak dan beranjak kedalam kamar.
Tiba – tiba gelas yang
berada tepat disamping laptop Nana bergerak. Lampu hias yang berada disisi
rumah jatuh kelantai dan pecah. Ia merasakan goncangan yang makin lama makin
kencang. Nana panik. Ia segera berlari keluar rumah. Ketika didepan pintu kos,
ia teringat Bu Siti yang masih berada didalam. Ia segera berlari menuju kamar
Bu Siti. Bu Siti terlihat kesusahan berjalan. Ia segera menuntun Bu Siti keluar
rumah. Ketika sampai diluar kos, ia melihat orang – orang sudah berada diluar
rumah dan terlihat menepi. Nana menuntun Bu Siti duduk di halaman kos. Nana
terdiam memperhatikan sekitarnya. Tangannya masih memegangi Bu Siti yang
terlihat shock dan cemas. Guncangan
itu masih berlanjut. Kira – kira 1 menit kemudian guncangan itu berhenti. Ia
langsung teringat 2 orang sahabatnya yang belum kembali. Tanpa disadari butiran
bening mengalir dipipi mulusnya. Entah apa yang membuatnya takut kehilangan 2
sahabatnya itu.
Nana ingin menghubungi
mereka. Ia meraba saku celananya. Tapi ia tak menemukan ponselnya. Tanpa
berpikir panjang ia bergegas kedalam kos mengambil ponselnya. Didalam kos ia
melihat benda – benda berserakan dilantai. Ia melangkah menuju ruang tamu dan
mengambil ponsel. Ia kembali ke tempat Bu Siti dihalaman kos.
Nana tampak sibuk
mengotak atik ponselnya. Kemudian ia menempelkan ponsel tersebut ditelinganya.
Tampaknya ia sedang menghubungi seseorang. Dilayar ponselnya terlihat nama Indri.
Tapi tak ada sahutan. Nana terlihat semakin cemas. Ia kembali menghubungi nomor
Indri. Ia menggigit ujung jari kanannya, berharap kali ini ada sahutan. Tapi tetap
saja tak ada. Ia juga menghubungi ibunya di Bukittinggi, tetapi tidak
terhubung. Perasaannya mulai kacau. Sekarang tidak ada satupun yang dapat
dihubunginya. Tubuhnya melemas. Ia terduduk ditanah. Air mata mulai keluar dari
pelupuk matanya.
Kira – kira 1 jam
kemudian, Indri dan Bunga kembali. Dari kejauhan, Nana melihat 2 orang
sahabatnya tersebut berjalan kearahnya. Ia tak bisa menahan perasaannya lagi. Ia
segera berlari menyongsong mereka. Nana sontak memeluk mereka erat. Beberapa
detik setelahnya, ia merenggangkan pelukannya dan melepaskan tangannya dari
tubuh mereka.
“Kalian gak kenapa
–napa kan?” Nana terlihat sangat mengkhawatirkan kedua sahabatnya itu.
“Kita baik – baik aja
kok Na” balas Bunga lemas.
“Kamu sendiri baik –
baik aja kan?” kali ini giliran Indri yang khawatir.
“Aku gak pa pa Ndri.
Aku nungguin kalian dari tadi. Aku takut kalian kenapa - napa” Nana terlihat memelas.
“Ya udah. Pokoknya
sekarang kita semua baik – baik aja. Kamu jangan sedih lagi ya” hibur Bunga.
Nana tersenyum seolah
menjawab pertanyaan Bunga.
Mereka berjalan menuju
tempat Bu Siti. Indri dan Bunga menanyakan keadaan Bu Siti, dan sebaliknya. Bu
Siti juga menanyakan keadaan mereka.
Hari semakin sore.
Mereka masih tidak bisa menghubungi keluarga. Kemudian timbul niat pulang
kerumah masing – masing, tapi dicegah Bu Siti. Sekarang mereka hanya bisa
pasrah dan berdo’a agar mereka segera dipertemukan dengan orang tua dan
keluarga mereka.
Sementara itu, ibu Nana
di Bukittinggi sibuk menghubunginya. Tapi selalu tak terhubung. Ibunya tak
henti - hentinya menangis. Hatinya terasa teriris. Bagaimana tidak, darah
dagingnya yang sedang mengejar pendidikan di negeri orang dan tengah ditimpa
musibah masih tidak diketahui keadaannya. Semua keluarganya di Bukittinggi
mengkhawatirkannya.
Karna terus gagal
dihubungi, kakak laki – laki Nana menyusulnya ke Padang. Kakaknya berangkat
menggunakan motor bersama saudara perempuan ibunya. Mereka berangkat sore hari.
Sekitar pukul 7 malam mereka sampai di Padang.
Setibanya di Padang, mereka
langsung menuju kos Nana. Nana yang sebelumnya tidak dikabari terkejut melihat
kedatangan kakak dan tantenya itu. Ketika melihat keadaan Nana yang ternyata
baik – baik saja tersebut, tante Nana dan abangnya terharu dan memeluknya.
“Kami dirumah sangat
mengkhawatirkanmu, nak” ucap tante Nana haru.
“Aku baik – baik aja
kok tante” Nana berusaha meyakinkan tantenya itu.
Setelah cukup lama
berbincang – bincang, tante Nana memutuskan untuk segera pulang karena malam
semakin larut. Ia pamit pada Nana, Indri, Bunga dan juga Bu Siti.
“Ya udah.. sekarang
tante sama abangmu balik ke Bukittinggi lagi ya” .
“Iya tante. Tante tolong bilang sama Ibu kalo
aku disini baik – baik aja” Nana memohon pada tantenya .
“Iya sayang. Nanti tante akan bilang pada
ibumu” tante Nana tersenyum dan memeluk keponakannya tersebut.
Di rumah, kondisi Ibu
Nana terlihat memprihatinkan, ia jatuh sakit karna sampai saat ini ia masih
belum mengetahui kabar dari sang buah hati.
Setibanya dirumah,
tante Nana segera mengabari Ibu Nana bahwa buah hatinya baik – baik saja. Ibu
Nana tidak percaya. Ia menuduh adiknya itu berbohong. Tante Nana berusaha meyakinkannya
tapi hasilnya nihil. Ia tetap dengan keyakinannya.
Akhirnya tante Nana
mengajak Ibu Nana untuk menyusul Nana ke
Padang, untuk membuktikan ucapannya. Setelah beberapa jam perjalanan, mereka
sampai di kos Nana. Ibu Nana mendapati Nana sedang tidur di sofa. Tanpa pikir
panjang, Ibu Nana langsung mendekap Nana dan memeluknya. Nana sontak terbangun.
Air mata Ibu Nana bercucuran. Ia menampar pipi kanan Nana memastikan kalau yang
duduk didepannya itu benar – benar buah hatinya.
“Anakku ... apa benar
ini kau?” suara Ibu Nana serak.
“Iya Ibu. Ini aku Nana”
balas Nana seraya mengeratkan pelukannya.
“Mulai sekarang kamu
tidak Ibu ijinkan lagi tinggal di Padang” ujar Ibu Nana tegas.
Bagai disambar petir
disiang bolong, perkataan singkat Ibu sukses membuat Nana shock.
“Tapi Bu, sebentar lagi
aku akan menyelesaikan kuliahku” Nana terlihat kecewa dengan keputusan Ibunya.
“Kamu bisa melanjutkan
kuliahmu di Bukittinggi. Biar Ibu yang akan mengurusinya. Ibu tak ingin kejadian
ini terulang lagi. Kita akan pulang besok”
Nana tak dapat
berkutik. Mulutnya bungkam. Ia tidak ingin membantah perkataan Ibunya. Ia tak
ingin terlihat egois dimata abang, tante, sahabat dan juga Bu Siti.
Sakit? Ya. Tapi itulah
kenyataan yang harus diterimanya. Tak selalu apa yang diharapkan akan sama
dengan orang lain harapkan terhadap diri kita.
Itulah yang dialami Nana. Angan – angannya untuk menamatkan kuliah di
UNP pupus. Ibunya berkeinginan lain.
Nana menghadap keluar
jendela. Kini, ia telah berada dirumah yang sering ia tinggali. Tanpa terasa,
air mata mengalir dikedua pipinya. Sementara itu, Ibunya yang berada di ruang
makan memperhatikan gerak geriknya dari tadi. Ia berusaha melihat lebih jelas
apa yang terjadi dengan Nana. Ia melangkahkan kedua kakinya menuju tempat Nana.
“Kamu kenapa?” Ibu
mendekatkan wajahnya ke wajah Nana
Nana menyadari
keberadaan seseorang disisinya. Ia sedikit melirik. Kemudian tatapannya kembali
keluar jendela.
“Aku ingin kembali ke
Padang, Bu” kata – kata itu membuat Ibu Nana terenyuh. Ia terdiam untuk
beberapa saat.
“Ya sudah. Kalau memang
itu yang kamu mau, Ibu ijinkan kamu kembali kuliah” pungkas Ibu lembut.
Nana mendongak.
“Apa? Ibu mengijinkanku
kembali ke Padang?” Nana terlihat antusias. Ia memeluk Ibunya.
“Terimakasih, Bu”
tangan Nana masih mengalung dipinggang Ibunya.
“Tapi ada syaratnya.
Setiap ada jadwal kuliah yang kosong, kamu harus pulang” pesan Ibu pada Nana.
“Siap Ibu!” Nana
terlihat sangat senang dengan kenyataan yang diterimanya. Ia kembali diijinkan
kuliah di Padang. Matanya berbinar. Ia segera mengabari kedua sahabatnya
tentang kabar bahagia ini.
Esok paginya, ia
berangkat ke Padang diantar kakak laki – lakinya. Ketika sampai di kos, ia
disambut oleh kedua sahabatnya. Mereka berpelukan layaknya orang yang telah
berpisah selama bertahun – tahun.
2 bulan kemudian, Nana
dan kedua sahabatnya telah menyelesaikan kuliahnya. Mereka telah resmi
diwisuda. Ada perasaan haru yang menyelinap didada Nana. Ia lega telah berhasil
menyelesaikan pendidikannya. Hatinya semakin pilu ketika mengenang kejadian 2
bulan lalu ketika ia sempat ditentang oleh Ibunya untuk melanjutkan kuliah
karna bencana alam yang menimpanya. Kini, ia telah menyelesaikan pendidikannya.
Ia akan kembali ke Bukittinggi untuk menepati janjinya pada Ibunya.
“Terima kasih Padang.
Selamat tinggal Padang” gumamnya penuh haru.